Pangkalan Bun, Ibukota Kotawaringin Barat
Setelah 8 tahun saya mengabdi di KPP Pratama Pangkalan Bun, tidak afdal rasanya kalau saya tidak menceritakan sedikit mengenai sejarah Kotawaringin Barat.
Menyusuri jejak-jejak sejarah Kerajaan Kotawaringin, terlebih
dahulu harus mengetahui Kerajaan Banjar. Karena keturunan Raja
Banjarlah yang mula pertama membangun Kerajaan Kotawaringin. Dengan
kata lain bahwa Daerah Kerajaan Kotawaringin adalah di bawah kekuasaan
Banjar pada mulanya. Sultan Musta’inubillah Raja Kerajaan Banjar
berputera empat orang dan seorang putri masing-masing bernama:
- Pangeran Adipati Tuha, Dialah yang menjadi Raja di Kerajaan Banjar bergelar Sultan Inayatullah.
- Pangeran Adipati Anom
- Pangeran Antasari (Pahlawan Nasional)
- Pangeran Adipati Antakusuma
- Putri Ratu Ayu
Karena
masing-masing putra mahkota berminat untuk menjadi sultan memegang
tampuk pimpinan kerajaan, membuat sang ayah harus berpikir bijaksana.
Putra mahkota yang berminat untuk menjadi sultan, sedangkan dia bukan
seorang putra tertua, maka diputuskan agar mencari wilayah baru untuk
mendirikan kerajaan sendiri.Pangeran Adipati Antakusuma yang memiliki
keberanian dan semangat yang tinggi untuk menjadi seorang pimpinan,
telah bertekad untuk pergi meninggalkan Kerajaan Banjar dengan tujuan ke
arah barat untuk mencari tempat dimana akan didirikan kerajaan
baru.Dengan restu Ramanda dan Ibunda serta pejabat-pejabat Kerajaan
Banjar, Pangeran Adipati Antakusuma beserta sejumlah pengawal dan
beberapa perangkat peralatan kerajaan dengan perahu layar bertolak
menuju arah barat. Dalam perjalanan banyak tempat yang disinggahi antara
lain Teluk Sebangau, Pagatan Mendawai, Sampit, dan Pembuang.
Diriwayatkan bahwa tempat-tempat yang disinggahi mempunyai cerita
sendiri.Pada saat singgah di Teluk Sebangau, setelah beberapa hari
berada disitu, terasa masih terlalu dekat, seakan masih terdengar hiruk
pikuk Kerajaan Banjar atau menurut bahasa Banjar Ingauan Banjar masih
kedengaran, sehingga akhirnya diputuskan untuk meninggalkan tempat
tersebut dan akhirnya tempat tersebut disebut Sebangau.
Dalam
perjalanan selanjutnya bahtera Pangeran Adipati singgah di Pagatan
Mendawai. Di tempat inipun Pangeran Adipati dan rombongan merasa kurang
yakin akan kondisi alam sekitarnya untuk dijadikan tempat untuk
mendirikan kerajaan. Karena merasa kurang yakin (dalam bahasa Banjar
Hawai) maka daerah ini diberi nama Mendawai. Begitu pula saat singgah di
muara Sungai Sampit, karena dengan terasa sempit dantidak cocok untuk
mendirikan kerajaan, maka ditinggalkan lagi dan akhirnya tempat
tersebut diberi nama Sampit.Bahtera Panggeran Adipati berlayar terus
meninggalkan arah barat dan akhirnya singgah di Kuala Pembuang.Pada saat
itu ada masyarakat di sana, tetapi kehadiran Pangeran Adipati
Antakuskuma dan rombongan bermaksud untuk mendirikan kerajaan baru
ditolak oleh masyarakat disana, karena mereka masih suka dipimpin oleh
Kerajaan Banjar.Dengan semangat tinggi tanpa putus asa rombongan
berusaha melanjutkan perjalanan, kali ini tidak lagi menyusuri pantai,
tetapi menuju ke hulu sungai yang akhirnya tiba di suatu desa yang
bernama Desa Pandau.Masyarakat Suku Dayak yang sudah lama berada di Desa
Pandau berada di bawah kepemimpinan demang Petinggi di Umpang
akhirnya menerima kehadiran rombongan Pangeran Adipati
Antakusuma.Demang Petinggi sebagai Kepala Suku Dayak, Anom menyerukan
kepada rakyatnya agar menerima rombongan Pangeran Adipati Antakusuma
ini yang mana akan dijadikan raja dari rakyat Dayak dengan syarat raja
harus memperlakukan kita bukan sebagai hamba, tetapi sebagai pembantu
utama dan kawan yang terdekat atau sebagai saudara yang baik. Rakyat
tidak akan meyembah sujud kehadapan Pangeran Adipati Antakusuma.
Usulan ditimbang dan diterima baik oleh Pangeran dan seluruh
rombongannya.
Dari pihak Suku Dayak Arut, mengusulkan
agar perjanjian ini bukan sekedar di bibir saja, melainkan harus
bermaterai darah manusia yang diambil seorang dari Suku Dayak Arut dan
seorang dari Pangeran Adipati Antakusuma. Sukar diterima oleh pikiran
manusia hanya untuk sebuah janji saja, tetapi karena adat mendesak,
maka masing-masing menarik salah seorang diantara kedua rombongan
untuk dijadikan korban perjanjian.Kedua calon korban ini tidak pernah
menyangkal, malahan mereka merasa bangga karena terpilih sebagai
korban. Mereka menganggap kesatria dan pahlawan bangsa. Dengan rela
mereka dijadikan korban perjanjian setia antara kedua suku yang saling
mengikat rasa kekeluargaan. Sebelum kedua calon korban ini berdiri
siap untuk dikorbankan, mereka mengadopsi sebuah batu yang harus
ditancapkan ke tanah sebagai bukti turun temurun saksi sepanjang masa.
Dengan melakukan upacara adat yang hidmat kedua calon korban berdiri
di samping batu saksi, yang sekarang terkenal dengan nama “BATU
BETAHAN” di Pandau daerah Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin
Barat Propinsi Kalimantan Tengah.Calon korban dari pihak Suku Dayak
berdiri menghadap ke hulu asal datangnya dan seorang calon korban dari
rombongan Pangeran Adipati Antakusuma berdiri menghadap hilir
menunjukan asal kedatangannya. Dengan sikap satria, kedua calon korban
ini menunggu saat akhir hidupnya dengan sabar menanti sampai selesai
upacara perjanjian antara kedua belah pihak.Setelah selesai upacara
sumpah setia, Kepala Suku Dayak Arut mencabut mandaunya dan ditusukkan
menembus ke dada korbannya dan darahpun mengucur deras. Korban dari
rombongan Pangeran ditusuk pula sehingga kedua darah korban ini
memancur bersilang dan menetes jatuh menjadi satu membasahi
tanah.Percampuran darah secara langsung dan disaksikan seluruh rakyat
kedua belah pihak inilah yang dimaksud untuk mempersatukan segala rasa
dan pikiran dalam segala rencana bersama. Perjanjian ini selanjunya
dinamai “PANTI DARAH JANJI SAMAYA” yang berarti perjanjian ysng
dikokohkan dengan tetesan darah yang menjadi satu. Kasultanan
Kutaringin yang diperintah oleh Pangeran Adipati Anta Kusuma sejak
1679. dalam masa pemerintahannya Pangeran Adipati Antakusuma
mengangkat Kyai Gede menjadi Perdana Menteri Kerajaan Kotawaringin.
Untuk Pertama kalinya Keraton Kesultanan dibangun di Kotawaringin Lama
dengan nama Astana Alnusari selanjutnya pada tahun 1814 Keraton
Kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan
yang disebut dengan Keraton Kuning atau Indra Kencana.
Setelah
Proklamasi kemerdekaan RI maka wilayah Kesultanan Kotawaringin
menjadi bagian wilayah negara RI, dengan status Swapraja / Kwedanan
dan selanjuntnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II
Kotawaringin Barat sebagai Daerah Otonom Pangkalan Bun sebagai ibu
kota Kabupaten.
SEJARAH PEMERINTAHAN
Sejak
pengakuan kedaulatan oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949 dengan
berdasarkan UU nomor 22 tahun 1949 lahirlah Kabupaten Kotawaringin
dengan ibu kota Sampit dan dikepalai oleh Bupati Kepala Daerah yang pada
waktu itu bernama TJILIK RIWUT.Sedangkan daerah Swapraja Kotawaringin
Barat hanya setingkat dengan Kewedanan dengan ibu kota Pangkalan Bun
yang termasuk dalam daerah kekuasaan Wedana / Wakil Kepala Daerah yang
pada waktu itu bernama BASRI.Daerah Swapraja Kotawaringin terbagi
atas beberapa kecamatan dan dikepalai oleh seorang camat (dahulu
assisten Wedana atau Kyai).1. Kecamatan Arut Selatan, Ibu
kotanya Pangkalan Bun2. Kecamatan Kumai, Ibu kotanya
Kumai3. Kecamatan Sukamara, Ibu kotanya Sukamara4.
Kecamatan Bulik, Ibu kotanya Nanga BulikLembaga eksekutif yakni Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai daerah sementara (DPRDS) Kabupaten
Kotawaringin berkedudukan di Sampit, oleh karena daerah ini adalah
merupakan sebagian dari daerah Kabupaten Kotawaringin maka untuk
wakil-wakil rakyat dari daerah ini yang duduk di lembaga tersebut
dilakukan pemilihan dan diambil oleh partai / organisai yang ada
yaitu:
- M. Abdullah Mahmud dari Partai Masyumi
- Ahmad Said dari BPRI
- Dahlan Abbas dari Partai Masyumi
- M. Sahloel dari PNI
- Gusti M. Sanusi dari PNI
- Djanuri dari SKI
- Ismail dari PARKINDO
Mengenai
M. Sahloel karena sesuatu hal tidak dapat hadir sehingga akhirnya
digantikan oleh Azhar Mukhtas. Kepala Daerah Swapraja Kotawaringin
berturut-turut adalah:
- Basri, BA
- Gusti Ahmad
- M. Saleh
- Abdul Muis
- Rojani
- Syukur
- C. Mihing (Bupati KDH Tingkat II Ketua Barat yang Ke-I)
Setelah
berjalan beberapa tahun lamanya daerah ini berada di dalam lingkungan
Kabupaten Kotawaringin Barat atas dasar kemauan rakyat yang
disalurkan melalui partai-partai/ organisasi agar Daerah Swapraja
Kotawaringin/ Kawedanan Pangkalan Bun memisahkan diri dari Kabupaten
Kotawaringin dan penghapusan Swapraja menjadi suatu daerah kabupaten
yang berdiri sendiri.Kemauan/ tuntutan ini melalui wakil-wakilnya yang
duduk di DPRDS diperjuangkan dalam sidangnya yang pertama tahun 1955
dengan mengajukan suatu mosi tertanggal 21 Juni 1955 yang
ditandatangani oleh:
- Dahlan Abbas
- M. Abdullah Mahmud
- Azhar Mukhtas
- Ahmad Said
- Djanuri
- Gusti M. Sanusi
Mosi
tersebut oleh sidang DPRDS dapat disetujui dan dikuatkan dengan
keputusan DPRDS Kabupaten Kotawaringin yang merupakan suatu resolusi
tertanggal Sampit, 30 Juni 1955 yang disampaikan kepada:
- Menteri Dalam Negeri di Jakarta
- Gubernur / Kepala Daerah Propinsi Kalimantan Selatan di Banjarmasin
- Residen Kalimantan Selatan di Banjarmasin
- Bupati / Kepala Daerah Kotawaringin di Sampit
Dengan
keputusan DPRDS Kabupaten Kotawaringin tersebut setelah sampai di
Pemerintah Pusat, kemudian datanglah utusan dari Parlemen Pusat di
Pangkalan Bun untuk meninjau atau melihat dari dekat keadaan daerah dan
masyarakat, terutama tentang keinginan yang menjiwai mosi tersebut di
atas apakah memang benar-benar datang dari masyarakat, oleh Pemerintah
Pusat dikeluarkan UU No. 27 tahun 1959 tentang pembagian Daerah
Tingkat II Kotawaringin menjadi dua daerah atas pembentukan Daerah
Kabupaten Kotawaringin Timur dengan ibu kota Sampit dan Daerah
Kabupaten Kotawaringin Barat dengan ibu kota Pangkalan Bun, yang pada
waktu itu sudah berada dalam lingkungan daerah Propinsi Kalimantan
Tengah.Demikian asal-muasal atau peristiwa-peristiwa yang terjadi
sampai dengan lainnya Kabupaten Kotawaringin Barat yang diresmikan
oleh Gubernur TJILIK RIWUT yang bertindak atas nama Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia pada tanggal 3 Oktober 1959 jam 09.15 di
Balai Sembaga Mas Pangkalan Bun dalam suatu upacara resmi dengan C.
MIHING sebagai Bupati Kepala Daerah yang pertama dan sebagai aparat
pemerintah yang ditugaskan guna menyambut lahirnya daerah ini menjadi
Daerah Kabupaten Tk. II Kotawaringin Barat.Kabupaten Kotawaringin
terbentuk berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. UP.34/41/42
tanggal 28 Desember 1959 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.
Des.52/12/2-206 tentang pembagian kabupaten, yaitu Kabupaten
Kotawaringin Timur dan Kabupaten Kotawaringin Barat. Dengan usianya
yang menanjak dewasa itu wajarlah jika kabupaten ini memiliki tingkat
kematangan. Sentuhan pembangunan selama PJP – I telah enjadikan daerah
ini sejajar dengan daerah kabupaten lainnya baik pada level
Kalimantan Tengah maupun level daerah lain di Kalimantan. Kabupaten
Kotawaringin Barat setelah diadakannya pemekaran Kabupaten berdasarkan
UU No. 5 Tahun 2002 saat ini memiliki luas wilayah sebesar 10.075.900
Km2 atau sekitar 6,2 % luas propinsi Kalimantan Tengah, terdiri dari 6
Kecamatan dan 72 desa dan 13 kelurahan. Kecamatan tersebut meliputi:
- Kecamatan Arut Selatan
- Kecamatan Kumai
- Kecamatan Arut Utara
- Kecamatan Kotawaringin Lama
- Kecamatan Pangkalan Lada
- Kecamatan Pangkalan Banteng
sumber : wikipedia
Comments